solli's Blog

Just another WordPress.com weblog

MENEMBUS DERASNYA HUJAN

Kehidupan adalah sebuah tarian waktu yang tak kenal waktu dan egois. Waktu tak akan pernah berkompromi dengan kita, namun kitalah yang harus berkompromi dengan waktu. Ia bergerak, berjalan, meloncat, bahkan berlari tanpa memperdulikan substansi di dalamnya. Siapakah substansi itu? Substansi itu adalah aku, kamu, kalian, dia dan kita semua…

Ku tulis itu semua dalam sebuah catatan kecil dalam buku yang senantiasa kubawa ke mana saja aku pergi. Mungkin ini sebuah ekspresi kedongkolanku terhadap titian waktu yang senantiasa mewarnai seluk beluk hidupku atau ini adalah wujud penyesalanku atas kelengahan diri sehingga aku telah terpedaya dipecundanginya aku olehnya namun ku tak sedikit pun berdaya. Teringat terlalu banyak ternyata hal bodoh yang aku lakukan tanpa sadar menjerumuskanku ke dalam sebuah kemaksiatan yang mendatangkan laknat Allah Swt. Seolah aku pun telah siap menggali kuburan kebinasaanku kelak pada hari akhir, tak terbayang bahagianya diriku jika hidayah Allah tak berkenan menghampiri jiwa ini yang terlalu berdebu sehingga membutakan matahati ini. Engkau ya Rabb, telah menunjukkan kasih sayang yang tak ternilai dengan menganugerahkanku seorang Ayah yang ternyata kusadari ialah sosok yang terbaik yang pernah aku miliki walaupun tak pernah sedikitpun aku memberikan simpatik padanya karena butanya matahati ini yang tak dapat menggambarkan kelembutan hatinya, dan kemurnian cintanya. Sayangnya aku tak pernah mengakuinya hingga hidayah-Mu pun tak kunjung datang menghampiri diriku.

Saat ini pun sesungguhnya aku tak mampu memaafkan diriku sendiri, setelah selama ini begitu derasnya diri ini menghujam perasaan ayahku, begitu gencarnya petir keangkuhanku menyambar relung hatinya dengan segala bentuk prasangka buruk yang aku sendiri sesungguhnya tak mampu bertahan apabila hal ini terjadi kepadaku.

Aku tidak memungkirinya bahwa pada awalnya aku kecewa kepadamu wahai ayah, bagaimana tidak? engkau telah merampas hak kebebasan seorang remaja sepertiku termasuk salah satunya untuk menjalin kasih kepada siapa pun termasuk kepada wanita yang selama ini aku kagumi. Mengapa engkau bersikeras untuk menahanku menjadi seperti ini, dipenjara dalam sebuah batas-batas syariah agama seakan itu adalah sebuah doktrinasi yang harus aku telan mentah-mentah dan menjalaninya dengan setengah hati tanpa memberikanku manfaat langsung jika aku mentaatinya. Namun engkau senantiasa mengatakan bahwa sekecil apapun amal pasti akan dimintai pertanggung jawabannya kelak pada hari yang engkau tidak akan luput dari genggaman-Nya. Aku pun merasa jengkel hingga terkadang aku menimpali kata-kata ayahku dengan sebuah pertanyaan aneh yang menurutku sedikit menggelikan tentang hal tersebut seperti “sekecil apakah ayah? sekecil cacing, atau siput atau amoeba…” kurasa dengan pertanyaan tersebut aku sedikit terhibur karena kulihat tatapan ayahku yang pasrah akan kebodohan diriku.

Diriku memang liar, semakin banyak aku dinasehati oleh ayah semakin aku menyadari bahwa sesungguhnya watak diri ini adalah watak seorang pemberontak. Pemberontak akan suatu hal yang ku anggap salah, termasuk waktu aku masih Jahil

akan segala hal yang beraromakan spiritual, dengan sangat bodonya aku mengatakan bahwa ini bukan suatu hal yang penting. Bagiku kesenangan dunia ini lebih penting dan lebih terasa nikmat dibandingkan dengan bergelut dengan sarung, Al quran, peci dan puasa yang sangat menyiksa. Aku telah mendeklarasikan diri menjadi seorang yang hedonisme dengan segala bentuk kenikmatan di dalamnya sehingga aku merasa nyaman menurut caraku sendiri. Namun, lagi-lagi engkau wahai ayah yang senantiasa hadir untuk menjadi seorang penjagal kesenangan yang aku rasakan dengan duniaku hingga akhirnya sebuah kesadaran yang sudah sangat terlambat.

Terakhir kali aku melihatmu menangis di sampingku. Tetesan air matamu menggambarkan kesedihan berbaur dengan sebuah kekecewaan. Sebuah kekecewaan seorang ayah yang tak dapat memberikan segala hal yang terbaik untuk anaknya hingga sekarang jasadku terkapar tak berdaya pucat pasi. Jiwaku tercengang dan merenung terpisah dari jasadnya, hanya penyesalan yang tak terbendung menyelimutiku sekarang, sebuah penyesalan yang tak berarti walaupun segala yang ada di bumi dan seluruh jagat raya menebusnya. Namun, ku yakin itu tak akan mampu membayar segala kehinaan diriku.

Kegetiranku memuncak ketika dua sosok yang sangat bersih namun sangat garam melihatku dan menghampiriku. Diriku takut tak terkira hingga mereka bertanya tentang Tuhanku, Rosulku, Kitabku, Qiblatku, dan Agamaku. Aku tak berdaya berhadapan dengannya, tampak kekakuan menyerangku dan aku tak dapat berpatah kata sedikit pun.  Aku sudah terlambat…

S.D. Murtyas

Juli 13, 2009 - Posted by | Uncategorized

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar